TEORI GESTALT
TEORI GESTALT
Dasar pokok aliran
psikologi ini pertama kalinya dirumuskan Max Wertheimer pada tahun 1912 yang
berbunyi, “keseluruhannya lebih dari jumlah bagian-bagiannya.” Kelebihan itu
terjadi karena manusia cenderung melihat suatu pola, organisasi, integrasi atau
konfigurasi dalam apa yang dilihatnya. Konfigurasi yang membentuk kebulatan
keseluruhan itu disebut dalam bahasa Jerman Gestalt, suatu istilah yang sukar
diterjemahkan dank karena itu dipertahankan oleh semua bahasa. Demikianlah lahir
teori Gestalt, juga disebut teori organismic, dan teori psikologi lapangan
(field psychology).
Wolfgang Kohler dan Kurt Koffka dalam buku “The Mentality of Apes” (1925) dalam
eksperimen menguji hipotesis Thorndike tentang “Trial and Error” , yaitu dalam
memecahkan suatu masalah, individu atau binatang akan melakukan perbuatan –
perbuatan secara acakan dan akhirnya secara kebetulan akan dapat memecahkannya.
Dalam percobaan dengan simpanse ternyata, bahwa binatang itu memecahkan masalah
secara tiba-tiba,karena menurut Kohler ia mendapat “insight”. Pemecahan dalam
hubungan unsur-unsur situas itu.
Salah satu anggapan psikologi behaviorisme yang paling merusak ialah baha dalam
belajar, individu itu pasif, ia memberi stimulus dan memberi respons secara
sereotip dan otomatis. Stimulus dianggap sebab dan respons dianggapsebagai
akibat. Manusia sebagai mesin yang sangat baik desainnya yang dapat
dikendalikan. Siswa dapat dikendalikan oleh guru
dengan bahan yang dipilih pengembang kurikulum. Manusia dapat dikondisi menurut
kemauan penguasa atau masyarakat.
Kunci dalam psikologi Gestalt adalah “insight”. Belajar adalah mengembangkan
insight pada anak dengan melihat hubungan-hubungan antara unsur-unsur situasi
problematis dan denan demikian melihat makna baru dalam situasi itu. Belajar
buka sesuatu yang pasif, dalam belajar siswa mempunyai tujuan, mengadakan
eksplorasi, menggunakan imajinasi dan bersifa kreatif, jadi jauh berbeda dengan
psikologi behavioristi yang memendang belajarsebagai mekanistik dan
deterministik.
Insight ialah mula – mulaadanya perasaan, adanya petunjuk yang samar – samar
tentang pola, hubungan antara unsur – unsur suatu masalah , pada suatu saat
tiba – tiba menjadi terang.
Bagaimaa timbulnya insight
tak selalu dan serig dapat diverbalisasikan, dinyatakan dengan kata – kata,
karena terjadinya dalam lompatan pikiran dan intuisi. Simpanse memperoleh
insight dan tentu tak dapat membahasakannya. Insight adalah jawaban atau
hipotesis sementara, yang mungkin benar atau tidak, kebenarannya masih perlu
diuji.
Guru tak dapat memberi insight, walaupun dapat membantu, murid sendirilah yang
harus menemukannya sendiri menurut pikirannya sendiri, menurut makna yang
dilihatnya dalam situasi itu. Insight belum berarti memahami suatu masalah
sepenuhnya, akan tetapi hingga batas tertentu. Insight juga belum dapat
digeneralisasi. Untuk itu jumlahnya harus cukup banyak dengan pegalaman yang
kaya. Generalisai yang diperoleh sering dirumuskan dalam bentuk “Jika.. maka..
Bila tercapai generalisasi maka dapat digunakan atau ditransfer dalam situasi
lain yang pada prinsipnya menunjukkan persamaan. Namun transfer tidak dengan
sendirinya akan terjadi, wlaaupun prinsip itu telah dipahami sepenuhnya.
Seorang sarjana dapat bersifat ilmiah dalam bidangnya, misalnya fisika, akan
tetapi dalam bidang social yang tidak bertindak ilmiah, bahkan percaya akan
mistik dan superstisi. Atau ia tidak mengenal situasi dalam hibungannya dengan
prinsip itu, atau ia tidak mau, atau tak sanggup menerapkannya, misalnya ia
tahu ia harus berkorban untuk sesame manusia, namun ia lebih memperhatikan
kepentingannya sendiri.
Transfer dapat terjadi bila terbuka kesempatan untuk menerpkannya dalam situasi
yang dilihatnya sebagai kesempatan dan ada hasrat untuk menggunakannya.
Membantu siswa untuk memperoleh generalisasi dapat dilakukan dengan tiga cara.
Pertama : guru merumskannya, menjelaskannya dan kemudian menyuruh siswa
menerapkannya. Kedua : guru memberi latar belakang secukupnya, dan segera bila
siswa merasakan ia memahaminya, ia disuruh mengaplikasikannya. Ketiga : guru
memberi latar belakangnya, siswa disuruh menemukan generalisasinya, lalu
merumuskannya. Ternyata, bahwa metode kedua lebih efektif dalam transfer.
Kurt Lewin
(1890-1947), juga penganut teori keseluruhan, adalah pionir psikologi lapangan
atau field psychology. Untuk memahami seseorang, kita harus mengetahui segala
sesuatu tentang dirinya, buah pikirannya, prinsip – prinsipnya, konsep diri dan
apa saja yang dapat mengidentifikasi dirinya. Dengan lapangan psikologi
dimaksud sotuasi psikologis dimana ia berada. Psikologi ini disebut juga
psikologi lapangan kognitif.
Menurut teori lapangan, beajar adalah proses interaksional, dalam mana individu
memperoleh insight baru atau modifikasi yang lama. Belajar adalah modifikasi
life space, yang meliputi tujuan seseorang, hal –hal yang ingin dielakkannya,
halangan antara dirinya dengan tujuan, jalan yang mngkin ditempuhnya dan
sebagainya. Bagi guru, makin dikenalnya life space siswa, makin ia dapat meramalkan
kelakuan siswa itu dan dengan demikian makin dapat ia memberi bantuan.
John Dewey yang juga termasuk penganut teori Gestalt, organismic atau teori
lapangan kognitif, memandang berpikir sebagai proses reflektif yang pada
dasarnya tak berbeda dengan berpikir ilmiah. Dalam cara berpikir ini
digabungkanproses induktif, pengumpulan data, dan proses deduktif, mencari,
menganalisis, dan menguji hipotesis. Bedanya dengan proses ilmiah ialah, bahwa
dalam pemikiran reflektif tidak digunaka laboratorium sehinggadapat digunakan
dalam pemecahan segala macam masalah termasuk masalah sosia. Langkah –langkah
pemecahan masalah menurut Dewey telah cukup terkenal :
1. Mengenal
dan merumuskan masalah. Masalah timbul bila terdapat perbedaan atau pertentangan
antara tujuan – tujuan, antara data dan sebagainya.
2. Merumuskan
hipotesis itu, yaitu kemungknan jawaban dalam bentuk generalisasi yang
ditemukan sendiri, yaitu harus diuji kebenarannya. Pada dasarnya, semua
generaslisasi merupakanhipotesis yang senantiasa perlu diuji kebenarannya.
Hipotesis itu berkisar antara dugaan berdasarkan informasi minimal sampai
prinsip atau hukum dengan verifikasi yang tinggi tarafnya.
3. Menyelidiki
implikasi hipotesis dengan mengumpulkan data atau pengetahuan.
4. Mentes
hipotesis dengan menguji implikasi atau konsekuensi hipotesis berdasarakan data
atau penglaman.
5. Mengambil
kesimpulan, yakni menerima hipotesis, menolaknya, memodifikasi, atau menyatakan
bahwa berdasarkan data yang ada belum dapat diambil kesimpulan.
Prinsip – prinsip belajar menurut teori
Gestalt
1. Belajar
itu berdasarkan keseluruhan
Keseluruhan
lebih dari jum;ah – jumlah bagian. Bagian – bagian hanya mengandung arti dalam
hubungannya dengan keseluruhan. Mengubah bagian akan mengubah juga
keseluruhannya. Sebuah kalimat lebih berarti daripada jumlah kata – kata atau
hurufnya.
Bagian
– bagian hanya berarti dalam hubungannya dengan keseluruhan.fakta – fakta yang
lepas tidak mengandung arti dank arena itu mudah dilupakan. Menghafal peristiwa
– peristiwa atau tahun dalam sejarah atau nama –nama dan hasil bumi dalam mata
pelajaranIPS tidak berapa faedahnya, bila kita tidak memahami hubungannya
dengan keseluruhan yang lebih luas.
Demikian
pula pendidik –pendidik modern berpendapat bahwa mata pelajaran yang lepas –
lepas kurang manfaatnya sebab tidak berdasaarkan atas keseluruhan ini. Itu
sebabnya maka orang berusaha untuk mengadakan hubungan antara pelbagai mata
pelajaran yang disebut korelasi antara mata pelajaran, malahan dapat juga
meniadakan segala batas – batas antara mata pelajaran dengan
mengintegrasikannya.
Yang
diberikan ialah masalah atau pokok yang luas yang harus dipecahkan oleh anak
–anak. Dalam menyelesaikannya mungkin sekali anak – anak mempelajari hal –hal
berkenan dengan sejarah, ilmu hayat, kesenian dan sebagainya, akan tetapi apa
saja yang dipelajari, tidak merupakan fakta – fakta terlepas, melainkan
senantias sebagai bagian dalam hubungan yang lebih luas. Pengajaran serupa ini
lazim disebutpengajaran “unit” atau pengajaran proyek. Prinsip keseluruhan ini
ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kurikulum, baik menganai
isinya maupun mengenai organisasinya.
2. Anak
yang belajar merupakan keseluruhan
Sekolah yang
tradisional bertujuan : menyampaikan kultur atau kebudayaan kepada murid –murid
dengan jalan mnumpukan sejumlah pengetahuan kedalamingatan anak dengan harapan,
bahwa ia akan menggunakannya kelak bila ia telah dewasa. Pengajaran serupa ini
sering disebut intelektualistis, sebab dititik-beratkan pada pendidikan intelek
atau dalam kebanyakan hal sebenarnya pada pendidikan ingatan saja, ia seorang
pribadi, suatu keseluruhan yang menghadapi situasi-situasi bukan hanya secara
intelektual, melainkan juga secara emosional, social, dan jasmaniah. Bila kita
mengajarkan IPS misalnya, kita dapat berusaha sehingga anak itu mengerti akan
bahan pelajaran. Akan tetapi disamping itu murid itu mungkin juga belajar benci
akan gurunya atau kepada pelajaran itu atau kepada segala sesuatu yang
berbaupelajaran sekolah. Mengenai pendidikan intelektual mungkin kita mencapai
hasil yang baik, akan tetapi dalam pendidikan emosinya kita gagal.
Sebab itu, dalam pengajaran modern, orang bukan hanya mengajarkan mata pelajaran,
akan tetapi mengutamakan tujuan mendidik anak, membentuk seluruh pribadi anak
seutuhnya.
Dalam pada itu, anak tidak hanya dipandang sebagai murid sekolah saja, pribadi
anak tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya diluar sekolah, di rumah, dan di
lingkungan sekitarnya. Suasana sekolah sedapat – dapatnya diselaraskan dengan
suasana rumah. Sekolah hendaknya dijadikan bukan hanya tempat anak mempelajari
berbagai ilmu, akan tetapi juga tempat mereka hidup dan belajar hidup.
Kurikulum sekolah disesuaikan dengan apa yang diperlukan anak bagi kehidupannya
sehari – hari. Dengan demikian dicegah adanya jurangyang sering terdapat antara
sekolah dengan kehidupan di luar sekolah untuk mencapai integrasi pribadi
murid.
3. Belajar
berkat insight
Teori asosiasi
mementingkan ulangan dan pembiasaan dalam proses belajar. Belajar serupa ini
disebut mekanis. Teori organisme memandang “insight”, pemahaman atau titikan
sebagai syarat mutlak dalam hal belajar. Dengan insight dimaksud suatu saat
dalam proses belajar, sewaktu seseorang melihat atau mendapat pengertian atau
tentang seluk – beluk sesuatu, atau melihat hubungan tertentu antara unsur –
unsur dalam situasi yang mengandung suatu problema atau kepelikan. Dalam
percobaan oleh Kohler dengan simpanse, binatang itu berhasil menyambungkan dua
kerat bamboo utuk meraihpisang yang diletakkan di luar kandangnya. Pada saat
kera itu melihat hubungan antara unsur –unsur dalam situasi yang problematis
itu, (yakni antara unsur – unsur bamboo, dirinya, jeruji, pisang) ia memperoleh
“insight” atau suatu “Aha Erlebnis”.
Hal yang demikian terjadi juga pada manusia yang menghadapi situasi yang
mengandung kesulitan dan sering secara tiba – tiba memahami seluk – beluk
situasi itu, setelah ia mendapat “insight”. Pemahaman tidak diperoleh semata –
mata dengan jalan mengulang- ulangi dan latihan – latihan seperti pada teori
asosiai. Paa sebenarnya “insight” ini belum dapat dijelaskansepenuhnya.
Bagi pembinaan kurikulum, prinsip “insight” ini berarti bahwa anak – anak harus
dihadapkan kepada masalah – masalah, dalam bentuk proyek atau unit yang
mengandung problema – problema yang harus dipecahkan.
4. Belajar
berdasarkan pengalaman
Belajar memberi hasil
yang sebaik-baiknya bila didasarkan pada penglaaman. Pengalaman ialah suatu
interaksi, yakni aksi dan reaksi, antara individu dengan lingkungan. Individu
menjalani pengaruh lingkungan, jadi ada aksi dari lingkungan terhadap individu
, akan tetapi sebaliknya individu juga bereaksi terhadap pengaruh lingkungan
itu. Ia berbuat sesuatu, yakni mempertimbangkan, mengolah,memikirkan pengaruh
lingkungan itu. Bila seorang anak kena api, maka hal itu suatu kejadian
atauperistiwa dan belum merupakan suatu pengalaman. Kejadian itu akan menjadi
pengalaman, apabila anak itu mengolahnya, menghubungkannya dengan pengalaman
yang sudah, mentafsirkannya, dan mengambil kesimpulan, bahwa api itu sesuatu
yang berbahaya yang dapat menimbulkan rasa sakit, sehingga ia dapat menentukan
sikapnya dan dapat menjaga diri terhadap api kelak. Berkat pengalaman itu ia
belajar, kelakuannya berubah, artinya bahwa ia bertindak lebih efektif dan
serasi dalam menghadapi situasi – situasi hidupnya.
Anak itu mula – mula akan memandang api sebagai sesuatu yang berbahaya, akan
tetapi berdasarkan pengalaman – pengalaman lain ternyata bahwa api itu tidak
selalu berbahaya, akan tetapi banyak sekali manfaatnya dan memberi kesenangan
pada manusia. Pengalaman pertama rupanya tidak benar seluruhnya dank arena itu
harus dirombak, direorganisasi atau disusun kembali. Belajar ialah reorganisasi
pengalaman – pengalaman yang lampau yang ternyata tidak lengkap, tidak
sempurna. Oleh sebab itu tidak ada pengetahuan dan pengalaman kita yang
sempurna, kita harus senantiasa mereorganisasi pengalaman kita selama kita
hidup.
Pendapat lama dan teori – teori yang lampau sering harus disempurnakan atau
diganti dengan yang baru ternyata lebih baik daripada yang sudah – sudah. Menusia
senantiasa membuat penemuan baru dan mereorganisasi pengetahuan yang lama dan
dengan demikian memperluas kebudayaan dunia. Manusia terus belajar dan tak akan
kunjung selesai meningkatkan pengetahuannya.
Belajar itu baru timbul bila seseorang menemui suatu situasi baru, suatu soal,
kesulitan atau problema. Dalam menghadapinya ia akan menggunakansegala
pengalamannya yang sudah – sudah. Jika dengan pengalamannya itu ia sanggup
menghadapinya, tidak akan timbul proses belajar. Ia sekedar menggunakan
pengalaman yang lampau itu. Tetapi bila ternyata bahwa pengalamannya yang ada
tidak cukup untuk mengatasinya, ia akan mengalami semacam frustasi.
Keseimbangannya terganggu, lalu ia mencoba mencari jalan untuk memecahkan soal
itu. Diantara percoban itu ada yang tak berhasil, itu dikesampingkannya.
Percobaannya itu dilanjutkannya jadi proses belajar berlangsung terus menerus
sampai kesulitan itu diatasinya.
Disinipun kita lihat, seperti dianjurkan penganut – penganut prinsip belajar
yang telah tersebut diatas betapa perlunya diusahakan, agar kurikulum itu
berupa problema – problema yang dihadapkan kepada anak – anak untuk
dipecahkannya agar ia belajar.
5. Belajar
ialah suatu proses perkembangan
Manusia adalah suatu
organisme yang tumbuh dan berkembang menurut cara –cara tertentu. Kita tak
dapat mengajarkan segala sesuatu yang kita kehendaki. Anak – anak baru dapat
mempelajarinya dan mencernakannya, bila ia telah matang untuk bahan pelajaran
itu. Kita ketahui bahwa pada anak kelas satu SD belum dapat diberikan teori –
teori tentang listrik atau tata negara, karena mereka belum matang untuk itu.
Kesiapan anak untuk mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan
atau taraf pertumbuhan batiniah, tetapi juga dipengarui oleh lingkungan, yakni
oleh pengalaman – pengalaman yang telah diperoleh anak itu. Misalnya kesiapan
untuk membaca akan lebih cepat terdapatpada anak – anak yang telah berkenalan
dengan buku – buku bergambardi rumah atau yang sering dibacakan cerita – cerita
dari buku oleh ibu bapaknya, sebelum ia menginjak sekolah, daripada anak – anak
yang tidak pernah memperoleh pengalaman – pengalaman dengan buku. Jadi tak
perlu kita hanya menunggu saja. Kita dpat menciptakan situasi – situasi dan
lingkungan bagi anak yang dapat mempercepat atau membangkitkan kesiapannya
untuk mempelajari sesuatu.
Dalam hal ini tidak semua anak sama. Anak – anak berbeda pengalaman dan
kematangannya, sekalipun umurnya sama. Perbedaan individual ialah suatu prinsip
yang harus dipikirkan dalam pembinaan kurikulum. Memaksakan semua anak
mempelajaribahan yang sama tidak dapat dipertahankan. Karena itu kurikulum
hasrus disusun sedemikian, sehingga sedapat mungkin dapat disesuaikan dengan
perbedaan individual, baik mengenai kuantitas maupun kualitasnya. Anak yang
pandai harus diberikemungkinan menyelesaikan lebih banyak pelajaran daripada
anak yang kurang pandai an anak – anak harus dapat mengembangkan bakatnya dalam
berbagai lapangan.
6. Belajar
ialah proses yang kontinu
Anak –
anak tidak hanya belajar di sekolah, aka tetapi juga di luar sekolah. Mereka
memperoleh juga pengalaman – pengalaman berkat radio, surat kabar, majalah,
pergaulan di rumah, dan sebagainya. Malahan kerapkali hal – hal yang
dipelaaridenga tak sengaja di luar sekolah dan sebelum bersekolah lebih
mendalam lagi, oleh sebab tujuan – tujuan yang mereka kejar disitu lebih
menarik, lebih memuaskan, lebih menyenangkan dan sesuai dengan
kebutuhannyadaripada tujuan – tujuan yang ditentukan dan sering dipaksakan oleh
sekolah. Lagipula di luar mereka banyak memperoleh pengalaman – pengalaman
langsung atau first hand experiences.
Mereka
tidak bicara tentang padi, ikan, laying – laying dan sebagainya, aka tetapi
mereka turut memotong padi, mereka menangkap ikan di sungai, mereka membuat dan
bermain laying – laying dan sebagainya. Di sekolah mereka kebnayakan membaca
dan mendengarkan saja. Kurikulum yang modern menyesuaikan pelajaran sekolah
dengan kehidupan, permainan, kesukaan, dan minat anak di luar sekolah. Apa yang
dahulu dianggap sebagai aktivitas extrakurikuler, yakni aktivitas anak di luar
pelajaran seperti perkumpulan sekolah, hobi anak- anak, kepanduan dan lain –
lain, dimasukkan sekolah ke dalam kurikulum menjadi tanggung jawab sekolah.
Kontinuitas
juga diusahakan dengan meniadakan tinggal kelas. Anak yang tinggal kelas tidak
kontinu pelajarannya oleh sebab ia harus mengulangi bahan yang sama selama satu
tahun. Kurikulum hendaknya disusun demikian, sehingga tiap anak terus maju
sesuai dengan kecepatannya masing – masing.
Kontinuitas
harus pula ada dalam pelajaran sekolah rendah, menengah dan tinggi. Seperti
anak maju dari kelas yang satu ke kelas berikutnya, demikian pula anak itu
harus pula maju dari sekolah rendah ke sekolah menengah dan seterusnya. Pertanyaan
timbul, apakah Sekolah Dasar harus terpisah benar – benar dari SMP dan sekolah
ini harus terpisah pula dengan SMA ? apakah tidak dapat disatukan sekolah –
sekolah itu seluruhnya menjadi sekolah dari kelas 1 sampai kelas 12 ?
Kontinuitas
akan terganggu pula apabila pelajaran di sekolah berlainan atau bertentangan
dengan norma – norma yang diajarkan di rumah. Maka timbullah konfik dalam diri
si murid. Ia harus berpegang pada dua macam norma. Apa yang dipelajarinya di
sekolah tidak dapat dilangsungkan dan dipraktikkan di rumah. Itu sebabnya
sekolah harus mengenal keadaan, kebiasaan, adat istiadat di rumah anak. Sekolah
harus bekerja sama dengan rumah dan badan – badan lain dalam masyarakat
sehingga semuanya turut serta membantu perkembangan anak yang harmonis.
Sekolah
modern mengajak orang tua agar turut seta dalam menentukan kurikulum. Dari
orang tua sungguh dapat diterima saran – saran yang baik sekali untuk
dipertimbangkan oleh staf guru –guru agar dimasukkan ke dalam kurikulum. Sering
pula orang tua diminta bantuannya untuk turut melaksanakan kurikulum.
7. Belajar
lebih berhasil bila dihubungkan dengan minat keinginan dan tuajuan anak
Hal ini tercapai apabila pelajaran itu langsung berhubungan dengan apa yang
diperlukan murid – murid dalam kehidupannya sehari – hari atau apabila mereka
tahu dan menerima tujuannya. Seorang murid yang berbakat dan ingin menjadi
penyanyi akan giat mempelajari teori music, oleh sebab sesuai dengan tujuannya,
sekalipun teori music itu sendiri kurang menarik. Akan tetapi alam hubungannya
dengan cita – cita anak itu, usaha itu mengandung arti baginya. Ia memahai
tujuan pelajaran itu, ia yakin aka nada faedahnya bagi kehidupannya dan karena
itu ia giat belajar. Dikatakan bahwa anak itu didorong oleh motivasi yang
interistik, sebab ia ingin mencapai tujuan yang terkandung dalam pelajaran itu
sendiri.
Kita dapat mengajarkan kepada anak – anak hal tentang bermacam – macam penyakit
ynag kemudian ditanyakan pada ulangan. Tujuan anak adalah mendapat angka yang
baik. Atau barangkali ia belajar karenatakut kepada guru, takut tinggal kelas,
atau ingin menyenangkan hati orang tuanya. Anak seperti ini didorong oleh
motivasi eksterinstik sebab ia mengejar tujuan, yang sebenarnya letak berada di
luar pelajaran itu. Lain halnya bila suatu daerah berjangkit penyakit, lalu
anak – anak belajar betul – betul untuk mengetahui seluk –beluk penyakit itu
agar dapat menjaga diri terhadap penyakit itu. Motivasi yang intrinsic ini
tentu lebih baik hasilnya. Di sekolah yang menginsafi hal ini, kurikulum
sedapat mungkin disesuaikan dengan minat kebutuhan dan tujuan – tujuan yang
hendak dicapai oleh anak – anak.
Pelajaran diberikan dalam bentuk unit atau proyek yang berkenaan dengan masalah
– masalah yang dihadapi oleh anak – anak. Proyek itu dibicarakan dan
dirundingkan bersama oleh guru dan murid – murid agar mereka lebih jelas
memahami ujuan dan faedahnya. Disini anak –anak turut serta menentukan
kurikulum.
Kurikulum di sekolah yang tradisionalsepenuhnya ditetapkan oleh pihak atasan.
Murid – murid tidak diajak berunding dan meraka harus menerimanya, kerap kali
tanpa melihat faedah yang langsungbertalian dengan tujuan dan minatnya. Disini
kebanyakan digunakan motivasi ekstrinsik, anak – anak dipaksa belajar dengan
macam – macam hukuman dan pujian dengan angka – angka dan ujian.
Komentar
Posting Komentar